Kompas TV bbc bbc indonesia

Kesaksian 'Algojo 1965' di Aceh, Lubang Pembantaian, dan Korban yang Dilupakan

Kompas.tv - 21 Januari 2022, 05:50 WIB
kesaksian-algojo-1965-di-aceh-lubang-pembantaian-dan-korban-yang-dilupakan
Kantor pusat PKI di Jakarta, pada 8 Oktober 1965, hancur lebur oleh amukan massa, menyusul peristiwa G30S. (Sumber: Getty Images)
Penulis : Edy A. Putra

Lubang-lubang pembantaian orang-orang yang dituduh komunis di Aceh pada 1965 dapat ditemukan di berbagai tempat, termasuk di perbukitan Seulawah, di pinggiran Kota Sigli. BBC News Indonesia bertemu eks 'algojo' dan keluarga korban yang dibantai.

"Saya masih simpan parang untuk memotong leher orang-orang PKI. Kalau bapak mau lihat, silakan..."

Udin, nama samaran, berada tak jauh dari lubang-lubang pembantaian di perbukitan Seulawah, di pinggiran Kota Sigli, Aceh. Di sanalah orang-orang yang dituduh komunis disembelih.

Pembantaian biadab itu terjadi 56 tahun silam, tak lama setelah peristiwa G30S 1965, ketika langit di atas perbukitan itu makin gulita.

Saat Udin berusia 25 tahun, peristiwa penangkapan dan pembunuhan massal atas pimpinan, anggota, simpatisan atau orang-orang yang dikaitkan Partai Komunis Indonesia (PKI), gencar dilakukan di kota di pesisir timur Aceh itu.

Baca juga:

Pembunuhan massal ini dilatari pembunuhan tujuh jenderal di pulau Jawa, kudeta yang gagal, polarisasi politik tingkat lokal, dendam pribadi, isu agama, hingga kampanye militer untuk menghabisi orang-orang komunis 'hingga ke akar-akarnya'.

Dalam atmosfer seperti itulah, Udin — kini usianya 81 tahun — direkrut sebagai anggota pertahanan sipil dan disebutkan 'berperan' dalam pembunuhan massal di perbukitan angker itu. Dia bahkan lulus rekrutmen menjadi 'algojo'.

Dokumen internal militer di Aceh menyebut orang-orang yang dibantai di wilayah Sigli dan sekitarnya berjumlah 314 orang. Adapun secara keseluruhan korban di Aceh mencapai 1.424 jiwa, menurut dokumen itu.

Namun angka versi militer ini jauh lebih sedikit dari perkiraan para peneliti dan pegiat HAM. Diperkirakan 3.000 hingga 10.000 telah dibantai dalam kurun waktu 1965-1966 di Aceh.

Penelitian sejarawan Australia, Jess Melvin, yang kemudian dibukukan pada 2018 lalu (berjudul The Army and The Indonesian Genocide-Mechanics of Mass Murder — akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada Januari 2022), memperkirakan jumlahnya kemungkinan mencapai 10.000 jiwa.

Pada tahun-tahun gelap itu, di Kota Sigli dan sekitarnya, ratusan orang-orang yang dituduh PKI ditangkap dan digelandang ke sebuah penjara di kota itu.

Sebagian mereka dipaksa naik ke dalam truk untuk menuju lubang-lubang pembantaian, antara lain di salah satu sudut di perbukitan Seulawah — tanpa diadili terlebih dahulu.

Baca juga:

Udin adalah saksi dan berada dalam pusaran kekerasan itu. Sumber BBC News Indonesia di Sigli menyebut dia adalah bagian dari tim 'tukang jagal'.

Namun dalam wawancara, Udin mengaku hanya berperan kecil sebagai petugas yang berjaga di pos penjagaan tak jauh dari lokasi pembantaian.

Malam jahanam di Simpang Betung — 'Ada korban membawa kitab Surat Yasin'

Lebih dari 55 tahun kemudian, ingatan Udin atas tindakan kejam di malam-malam jahanam di lubang-lubang pembantaian di sekitar Simpang Betung di perbukitan itu, sepertinya, tak lekang oleh waktu.

Udin masih ingat apa yang disebutnya percakapan terakhir dan sekelumit kejadian di menit-menit menjelang para algojo mengayunkan parangnya ke tengkuk para korban.

"Ada yang membawa kitab Surat Yasin di kantong bajunya," ungkap Udin kepada BBC News Indonesia, pertengahan Oktober 2021 lalu.

"Tapi," imbuhnya cepat-cepat, "ada pula yang memberikan jawaban murtad 'mana ada Tuhan, apa Tuhan, mana Tuhan?'" Ini barangkali semacam pesan terakhir sebelum parang diayunkan ke tengkuk orang-orang komunis itu.

Saya bertemu Udin di sebuah kedai kopi tidak jauh dari salah-satu lokasi pembantaian di Simpang Betung — disebut pula sebagai 'Cot PKI' atau 'Cot Tengkorak'. Cot adalah bukit dalam bahasa Aceh.

Baca juga:

Peta Kematian 1965 di Aceh.
BBC
Diperkirakan angka versi militer ini jauh lebih sedikit dari perkiraan para peneliti dan pegiat HAM. Diperkirakan 3.000 hingga 10.000 telah dibantai dalam kurun waktu 1965-1966 di Aceh.

Perawakannya gempal dan tingginya sekitar 155 cm. Kopiah hitam menutupi rambutnya yang memutih. Kumis tipis — habis dicukur — melintang rapi.

"Saya dulu gagah, berkumis tebal," Udin terkekeh. Dia menyebut dirinya 'jagoan yang ditakuti' di kampungnya pada saat itu.

Siang itu Udin memang acap kali mengumbar tawa. Hampir semua pertanyaan seputar peristiwa pembantaian di perbukitan sepi itu dia jawab.

Namun semula tidaklah gampang meyakinkannya agar mau 'berbicara'. Udin mengaku harus berkonsultasi dengan seseorang yang disebutnya ulama untuk mengiyakan atau tidak.

Setelah sang ulama mengeluarkan semacam petunjuk, Udin akhirnya bersedia menerima BBC Indonesia, tapi dengan syarat, yaitu, jati dirinya harus disembunyikan. Kami menyetujuinya — akhirnya.

Peristiwa 1965
Getty Images
"Ada pula yang memberikan jawaban murtad 'mana ada Tuhan, apa Tuhan, mana Tuhan?'" ujar Udin. (Foto: Kantor pusat PKI di Jakarta, pada 8 Oktober, hancur lebur oleh amukan massa, menyusul peristiwa G30S).

Saat kami bertemu di sebuah warung di pinggir jalan tak jauh dari lokasi lubang-lubang pembantaian, Udin awalnya menyerahkan secarik kertas kecil dalam kondisi terlipat kepada saya.

Tidak lama kemudian, saya membukanya perlahan. Ada tulisan tangan di dalamnya. Isinya: Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan ajaran komunisme/marxisme.

Ayah lima anak dan kakek sembilan cucu ini tak menjelaskan tujuannya memberikan kertas dengan teks seperti itu.

Suara gonggongan anjing pemburu babi hutan yang mengambang di kejauhan, juga sesekali raungan kendaraan roda empat di jalan raya, akhirnya mengalihkan fokus saya.

"Dahulu sepi sekali di sini, masih hutan," kata Udin. Sebagian lubang pembantaian kini berubah menjadi lahan kebun warga, katanya.

Baca juga:

'Algojo' pembantaian orang-orang komunis di 'Bukit Tengkorak'?

Sebagian masyarakat yang tinggal tak jauh dari perbukitan itu, menurut sumber BBC Indonesia, menyebut Udin ikut terlibat membantai orang-orang yang dituduh PKI di Bukit Tengkorak dan sekitarnya setelah 1 Oktober 1965.

Udin disebut sebagai salah-seorang algojonya. Dia bahkan disebut pernah dilibatkan dalam eksekusi di lokasi pembantaian di Banda Aceh.

Namun dalam wawancara, pria ini mengaku hanya mendapatkan cerita perihal pembantaian itu dari para algojo.

Dia lantas meminta agar kami menempatkan dirinya sebagai saksi mata dari kejadian pembantaian tersebut.

Menurutnya, dia hanya berperan kecil, sebagai salah-seorang petugas di pos jaga, tidak jauh dari lokasi pembantaian.

"Saya hanya hansip yang berjaga di pos di dekat jalan raya Cot Betung," akunya. Udin mengaku dikirim oleh kantor camat setempat untuk ditempatkan di pos itu, karena kekurangan petugas.

Tugasnya 'memantau' rombongan truk yang membawa para pesakitan ke lokasi pembantaian. "Jam sembilan malam, sudah sampai di sini [pos]. Waktu itu gelap dan sepi."

Siapa yang membawa para tahanan itu? Tanya saya. "Campuran," katanya. "Ada TNI, polisi, polisi militer, dan Pertahanan Sipil (Hansip) dari kecamatan. Jadi ada empat satuan."

Kepada petugas pos, orang-orang yang membawa tahanan komunis itu menunjukkan daftar nama yang akan dibunuh di lokasi itu.

Udin mengaku tidak dipersenjatai, kecuali berseragam lengkap ala anggota Hansip. "Gagah sekali, bersepatu hitam, pakai topi pet kayak tentara."

'Ada 170 orang yang dieksekusi, dua orang anggota Gerwani'

Usai proses eksekusi yang disebutnya berjalan antara 30 menit dan satu jam, para petugas pos — di antaranya polisi — kemudian menerima laporannya.

Dan, "saya jarang melihat [eksekusi], karena tidak cocok dengan pikiran. Makanya saya [menjaga] di pos. Habis leher mereka digorok [di Cot Betung], saya pulang," akunya dengan kalimat datar.

"Saya ingat, ada 170 orang dari Sigli yang dieksekusi di tiga tempat di sini. Tapi ada pula yang kabur," Udin berkisah.

Orang-orang yang dibantai itu, termasuk dua orang anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) asal Kota Sigli dan sekitarnya, ujarnya. Tapi dia mengaku tak mengenalnya.

Apakah tiap malam ada orang-orang yang digorok? "Tidak tiap malam. Kadang-kadang satu minggu satu kali, malam Rabu atau malam Minggu."

Proses pembantaian berlangsung sekitar sebulan, tapi Udin lupa secara persis waktunya. "Pokoknya sebelum puasa Ramadan, antara 1965 dan 1966."

Baca juga:

Semalam bisa sampai 24 orang dibantai di sekitar 10 titik di Cot Betung dan sekitarnya. Setiap lubang bisa berisi antara tujuh sampai 15 orang, ungkapnya.

"Saya tidak menghitung saat eksekusi, tapi saya lihat di daftar laporan setelah eksekusi. Saya melihat di pos, bukan di tempat kejadian perkara," akunya.

'Kalau tidak mati, atau tidak lepas kepalanya, dipotong lagi'

Tetapi ketika saya bertanya seperti apa cara pembantaian, Udin menjelaskan secara panjang lebar.

Di hadapan Udin, saya mencoba memperagakan sebagai orang yang akan dieksekusi. Dan dia seolah-olah adalah algojonya.

"[Orang yang akan dieksekusi] Duduk, kakinya [masuk] ke dalam lubang. Algojonya di belakang atau di samping," kisahnya.

Lalu, mereka digorok pada tengkuknya hingga kepalanya terpisah. "Kalau tidak mati, atau tidak lepas kepalanya, dipotong lagi. Pegang rambutnya, potong lagi," katanya, sambil menggerakkan tangannya seolah-olah memegang parang dan rambut korban.

Berapa panjang parangnya? Satu meter? Tanya saya.

"Tidak [terlalu panjang]. Kalau terlalu panjang, tidak kencang. Kalau pendek, kencang," Udin tergelak dan berkata bahwa parang-parang itu dibikin di Banda Aceh.

'Saya lulus pelatihan jadi algojo'

Udin pun mengetahui bagaimana cara mencari 'lokasi' ideal untuk memudahkan penggalian lubang pembantaian. "Yaitu gali lubang di saluran air, supaya tanahnya tidak keras."

Kalimat ini dia utarakan saat kami berada dalam mobil menyusuri ruas jalan tidak jauh dari lubang-lubang pembantaian di Simpang Betung.

Tiba-tiba, "ini tempatnya, pasti," Udin, dari dalam mobil, menunjuk sebuah kawasan yang disebutnya sebagai salah-satu titik pembantaian.

Namun dia tidak bersedia diajak ke lokasi di mana orang-orang itu disembelih. "Saya tidak ingat lagi," akunya.

Di hadapan saya, Udin kemudian mengaku ikut semacam pelatihan untuk menjadi algojo. Caranya seperti apa? Saya bertanya.

"[Kami] diminta bawa parang dan dibentak-bentak. Kalau mukanya pucat, disuruh ke sana. Kalau mukanya merah, diminta ke sini. Lima hari kemudian, saya langsung dipanggil," ungkapnya, seraya tertawa.

Jadi Anda lulus sebagai algojo? Saya bertanya lagi. "Saya lolos, karena muka saya merah." Tawanya kembali meledak. Dia direkrut oleh seorang camat di wilayah tempatnya tinggal.

'Saya masih simpan parang untuk potong leher orang PKI'

Walau mengaku hanya berperan 'kecil' dalam proses pembantaian itu, Udin masih menyimpan sebilah parang yang disebutnya "untuk memotong leher orang-orang PKI."

"Kalau bapak mau lihat, silakan. Tapi uang itu penting, [uang itu] bukan untuk saya," katanya saat wawancara akan berakhir. Saya menolak dengan sopan tawarannya itu.

Parang yang sudah keropos itu bahannya dari campuran emas, kemiti dan jarum. Adapun gagangnya terbuat dari tanduk kerbau.

Dia terus merawat parang itu hingga sekarang. Benda itu disebutnya manjur guna menyembuhkan orang-orang kesurupan.

"Insya Allah sembuh kalau minum air yang direndam dengan parang itu." Sampai di sini saya tidak melanjutkan pertanyaan lebih detil. Saya menahan muntah.

Mengapa tidak ada eksekusi dengan senjata api?

Seperti dia jelaskan di awal, tidak ada satu orang pun yang dieksekusi di Bukit Tengkorak ditembak dengan senjata api. Semuanya digorok lehernya dengan parang.

"Selain hemat peluru, supaya sepi. Kalau menggunakan senjata api, kan ada bunyi," ungkap Udin.

Di sinilah, Udin teringat bahwa operasi pembantaian itu dilakukan secara "rahasia". Saya kemudian mencatat apa yang dia utarakan saat wawancara.

Pertama, para algojo dan yang menutup lubang pembantaian itu berasal dari kampung tidak jauh dari 'Bukit PKI'. Namun, kedua, penggali lubangnya berasal dari daerah lain.

Ketiga, Udin tidak pernah tahu daftar nama orang-orang yang akan dieksekusi di Cot Betung. Daftar nama itu dibawa dari penjara di Kota Sigli. "Saya juga tidak kenal korbannya."

"Ada polisi bersenjata yang turun mendekati truk yang membawa tahanan. Jadi bukan kami [hansip] yang turun," akunya.

Namun menurutnya kadang-kadang daftar nama itu 'dibocorkan' sehingga dia akhirnya mengetahuinya — secara sekilas.

'Ada lokasi pembantaian bagi korban fitnah'

Kepada sumber BBC Indonesia, Udin mengaku menyesal terlibat dalam proses pembantaian di perbukitan Seulawah, utamanya ketika belakangan mengetahui bahwa orang-orang yang dibantai itu tidak semuanya anggota PKI.

Saya menanyakan ulang hal itu dan Udin tidak membantah ada orang-orang yang menjadi "korban fitnah" dan ikut dibantai di perbukitan Seulawah.

Udin lantas teringat ada satu lokasi pembantaian di kawasan perbukitan itu yang disebutnya "tempat bagi orang-orang yang tidak jelas, bukan orang terlibat, hanya sentimen pribadi". Di sini dia tidak merinci lebih lanjut.

Ketika saya bertanya apakah dia tidak menyesali atas apa yang dilakukannya saat itu, Udin tak menjawab secara eksplisit.

Dia hanya mengingatkan isi tulisan pada secarik kertas yang diberikan kepada saya sebelum wawancara, yaitu Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan ajaran komunisme/marxisme — Udin barangkali ingin menjelaskan bahwa keterlibatannya dalam peristiwa pembantaian itu memiliki alasan hukum kuat sebagai pembenaran.

Baca juga:

Dia kemungkinan tidak tahu bahwa aturan hukum itu baru keluar setelah darah berceceran di tanah Aceh — juga di berbagai wilayah lainnya di Indonesia.

Kelak, kejahatan kemanusiaan pasca 1 Oktober 1965 di berbagai wilayah di Indonesia ini dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM.

Dan setelah Reformasi 1998, pemerintah Indonesia berjanji untuk menyelesaikannya di luar kerangka pengadilan, walaupun bentuk kongkritnya tidak pernah terealisasi hingga kini.

Di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sudah bekerja untuk mengungkap dugaan pelanggaran HAM di wilayah itu, namun masih fokus pada periode konflik GAM-Indonesia (1976-2005).

Kembali ke sosok pria yang mengaku "ahli bercakap" ini. Jadi apakah Anda menyesali keterlibatan Anda saat itu?

"Itu urusan pemerintah," katanya pendek. Dia mengaku tak tahu-menahu latar belakang di balik peristiwa 56 tahun silam.

Baca juga:

'Saya orang kecil, saya tidak tahu apa-apa'

Dalam bahasa sederhana, dia berusaha menjelaskan latar kejadian kekerasan 1965, yaitu "saling recok" di antara sesama warga Indonesia sendiri.

"Dan saya orang Indonesia juga, walau awal kejadiannya di Jawa," katanya. Udin lebih leluasa mengutarakan kisahnya dalam bahasa Aceh ketimbang bahasa Indonesia.

Walaupun demikian, usai tragedi itu, Udin mengaku rajin menemui seseorang yang disebutnya sebagai ulama. Tapi di sini dia tidak merincinya.

Menurut sumber BBC Indonesia, ulama itu menyarankan agar dirinya mengungkapkan segala sesuatu yang diketahuinya pada malam-malam jahanam di perbukitan Seulawah, 56 tahun silam, dalam wawancara kepada BBC Indonesia.

"Supaya tidak menjadi beban," ungkap sumber itu.

Di akhir wawancara, saya lantas bertanya kepada Udin apakah dirinya masih menyimpan perasaan sedih ketika belakangan mengetahui bahwa sebagian orang-orang yang dibantai itu hanyalah korban fitnah, dia tak kuasa untuk menampiknya.

"Oh ada [perasaan sedih]. Panas perasaan... begini keadaan negara... Tapi saya tidak tahu apa-apa. Saya orang kecil."

Nada suara Udin kali ini terdengar lirih — dan tanpa gelak tawa.


'Warga marah terhadap PKI, tapi kenapa orang-orang tak bersalah juga dibantai' - kesaksian dua orang warga Kota Sigli

Puluhan tahun kemudian, setelah orang-orang yang dituduh komunis — dengan kepala dipenggal — ditanam di perbukitan angker itu, suasananya terlihat lengang siang itu.

Tetapi ingatan kolektif sebagian warga Kota Sigli, Kabupaten Pidie, Aceh, akan lokasi pembantaian di 'Bukit Tengkorak' itu, tak juga sirna. Kisah kebiadaban itu masih menghantui.

Seorang warga — tidak mau disebut namanya — yang tinggal tidak jauh dari kawasan 'Bukit PKI', mengaku pernah mendengar informasi tentang penemuan batok kepala manusia di sana.

"Kadang-kadang ada yang menemukan tengkorak [manusia]," ungkapnya kepada BBC News Indonesia. Dia kini mendirikan warung kopi tak jauh dari lokasi penemuan tengkorak manusia.

Seorang warga lainnya, Mustofa, mengaku pernah mendengar informasi bahwa di salah-satu sudut di kebun miliknya, dijadikan lokasi pembantaian.

"Dibilang sama orang, dengar kayak-kayak gitu [lokasi pembantaian]. Tapi lahan [di mana persisnya orang-orang itu disembelih], [saya] enggak tahu juga," ujarnya.

Kami kemudian diizinkan memasuki salah-satu sudut kebunnya, berupa tanah datar yang luas. Udin, yang melihat dari kejauhan, menyebut tanah milik Mustofa dulu adalah berupa hutan lebat.

Tanah milik Mustofa berada di kawasan Simpang Betung. Tapi tindak kekerasan nan biadab itu tak hanya memuat simbolisme geografis di perbukitan sepi itu.

Nama-nama tempat lain yang mengingatkan trauma kekerasan 1965 juga menyebar di pusat Kota Sigli, yang memakan waktu sekitar 20 menit dengan kendaraan roda empat dari kawasan lubang pembantaian.

Dari pusat Kota Sigli itulah, di malam-malam gelap usai 1 Oktober 1965, ratusan orang-orang yang dicap komunis ditangkap dan sebagian digorok lehernya di Simpang Betung.

Selama dua hari, saya dan jurnalis video Anindita Pradana mendatangi sejumlah lokasi di sudut-sudut kota yang tidak bisa dilepaskan dari tragedi kekerasan 1965.

Di antaranya, kami mendatangi bekas kantor PKI (kini berubah bentuk menjadi surau) di Kampung Kuala Pidie, dan bangunan penjara (dulu tempat orang-orang komunis ditahan sebelum dieksekusi) yang masih berdiri kokoh.

Kami juga mendatangi eks gedung bioskop Beringin — lokasi pidato pemimpin PKI Aceh, Thaib Adamy, yang membuatnya dipenjara — yang kini berubah menjadi pusat pertokoan.

Tidak jauh dari sana, kami juga menyaksikan deretan pertokoan yang dulu banyak dihuni warga peranakan Tionghoa. Sebagian dari mereka 'diusir' di tahun-tahun gelap itu karena dikaitkan dengan G30S 1965.

Dalam liputan selama dua hari di kota itu, kami secara khusus mendatangi Kampung Blang Paseh. Di sana, kami menemui orang-orang yang berada dalam pusaran kekerasan politik 1965.

Di kampung yang tidak begitu jauh dari pesisir pantai ini, tujuh orang warganya dibantai di Cot Betung. Mereka adalah pengurus PKI di Kota Sigli, kata sumber BBC News Indonesia.

Di sana, saya bertemu Teungku Jamil alias Jamil Rasyid, yang kini berusia 80 tahun. Dia berada di barisan anti komunis ketika pembantaian mulai terjadi pada Oktober 1965.

Pada siang yang terik itu, Jamil sudah menunggu kami di teras rumahnya. Dia mengenakan sarung dan kaos oblong, sebelum berganti kemeja batik saat wawancara.

Ketika huru-hara politik pecah, Jamil menjadi pemimpin organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kampung Blang Paseh.

Bersama TNI, polisi dan barisan anti PKI lainnya, dia ikut menuntut agar PKI dibubarkan.

Aksi turun ke jalan itu terkait peristiwa pembunuhan sejumlah perwira TNI Angkatan Darat dan upaya kudeta yang gagal. Saat itu, inilah narasi paling dominan yang mengarahkan telunjuknya ke PKI.

"Waktu itu masyarakat marah dengan yang dilakukan PKI," ujar Jamil. "Apalagi mereka anti Tuhan."

Dalam atmosfir saling mencurigai ("musuh atau kawan," ujar Jamil), dia turut memobilisasi massa PII di kampungnya setelah mendengar "pidato Pak Dandim dan Bupati Sigli" untuk "mengganyang PKI".





Sumber : BBC

BERITA LAINNYA



Close Ads x
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.