Kompas TV bisnis kebijakan

Tutup PLTU Batu Bara Beralih ke PLTS Tak Bisa Buru-buru, Keuangan Negara Taruhannya

Kompas.tv - 19 November 2021, 16:19 WIB
tutup-pltu-batu-bara-beralih-ke-plts-tak-bisa-buru-buru-keuangan-negara-taruhannya
Ilustrasi - PLTU Suralaya di Cilegon, Banten.  (Sumber: Kompas.tv/Ant)
Penulis : Fransisca Natalia | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV – Rencana melakukan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara tidak bisa dilakukan secara drastis dan terburu-buru. Hal ini untuk menjaga kondisi keuangan negara sambil  menghindari terjadinya krisis energi.

Hal itu disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara ”Kompas 100 CEO Forum” di Jakarta Convention Center, Kamis (18/11/2021).

“Transisi energi juga perlu dilakukan secara bertahap agar Indonesia tidak mengalami krisis energi seperti yang saat ini dialami sejumlah negara,” terangnya.

Meski transisi energi menuju target bebas emisi karbon membutuhkan biaya besar, Indonesia tetap berkomitmen memenuhi target penghentian PLTU pada tahun 2030 dan target bebas emisi karbon pada tahun 2060. Tentu saja prosesnya akan dilakukan secara bertahap dan berhati-hati.

Apalagi, permintaan terhadap listrik di masa depan akan semakin besar dengan semakin maraknya penggunaan produk berbasis listrik, seperti mobil listrik dan kompor listrik.

Baca Juga: Sri Mulyani Optimistis Pendapatan Negara Tembus Rp1.916 T

 

PLTU yang ditutup harus digantikan dengan pembangkit listrik baru yang menggunakan energi berkelanjutan. ”Kita butuh biaya. Mempensiunkan dini PLTU itu tidak gratis, ada ongkos yang harus dikeluarkan. Hal ini yang sedang kami bahas secara multilateral. Karena krisis iklim itu persoalan global, hitungan uangnya harus dibicarakan dengan sangat spesifik,” ujar Sri Mulyani, dilansir dari Kompas.id.

Rencana untuk melakukan penghentian operasional PLTU sebelumnya disampaikan pada rangkaian Konferensi Para Pihak Ke-26 (COP 26) tentang perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia. Pemerintah menargetkan  9,2 gigawatt (GW) PLTU  akan dihentikan pada  tahun 2030.

Rencana penutupan PLTU semakin kompleks dilakukan karena adanya kontrak kerja  antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan pengembang listrik swasta (IPP) berskema take or pay.

Skema tersebut mewajibkan PLN tetap membayar tenaga listrik yang dibeli  dari IPP kendati listrik tak terserap.

”Hampir sebagian besar pengembang listrik yang bekerja sama dengan PLN  menggunakan skema take or pay sehingga walau PLTU tidak dipakai dan rakyat memakai solar panel sendiri, PLN tetap harus membayar ke IPP. Artinya, kontrak-kontrak lama harus disesuaikan lagi agar lebih rasional sesuai dengan semangat climate change,” kata Sri Mulyani.

Diketahui, Kementerian Keuangan mengestimasi anggaran yang dibutuhkan untuk mengakhiri penggunaan PLTU berbasis batubara adalah 25 miliar dollar AS-30 miliar dollar AS (sekitar Rp 357,5 triliun-Rp 429 triliun).

Sementara itu, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, jika pemerintah ingin melakukan pensiun dini PLTU di luar skenario normal sesuai masa kontrak, PLN membutuhkan dukungan dari pemerintah terkait subsidi dan kompensasi biaya penghentian lebih awal.

”Kami sangat mendukung untuk menghentikan PLTU sesuai dengan jadwal kontrak jual beli listrik. Namun, kalau mau pensiun dini, kami perlu dana dan dukungan dari pemerintah,” ucap Zulkifli.

Baca Juga: Ganti PLTU Batu Bara dengan Energi Terbarukan, Pemerintah Butuh 30 Miliar Dollar AS

 



Sumber : Kompas TV/Kompas.id

BERITA LAINNYA



Close Ads x