Kompas TV nasional wawancara

Profesor Emil Salim: Pembangunan Ekonomi Keliru Arahnya

Kompas.tv - 12 November 2021, 06:00 WIB
profesor-emil-salim-pembangunan-ekonomi-keliru-arahnya
Ekonom senior Profesor Emil Salim saat berbincang dengan Rosiana Silalahi pada program ROSI di KOMPAS TV, Kamis (11/11/2021). (Sumber: Kompas TV)
Penulis : Haryo Jati | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemimpin Redaksi KOMPAS TV Rosiana Silalahi berbincang dengan ekonom senior sekaligus tokoh lingkungan hidup, Profesor Emil Salim pada program ROSI, Kamis (11/11/2021) malam.

Lelaki kelahiran Lahat, Sumatera Selatan, 8 Juni 1930 ini, adalah  salah seorang di antara sedikit tokoh Indonesia yang berperan internasional. Ia adalah tokoh lingkungan hidup internasional yang pernah menerima The Leader for the Living Planet Award dari World Wide Fund (WWF), suatu lembaga konservasi mandiri terbesar dan sangat berpengalaman di dunia.

Emil menjabat menteri di era Presiden Soeharto. Sebagai Menteri Perhubungan pada 1973-1978,  dan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup pada 1978-1993. 

Meski tidak lagi menjabat sebagai menteri, namun perhatian pada isu pembangunan dan lingkungan hidup tidak surut.  Lewat yayasan dan lembaga swadaya masyarakat seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Yayasan Kehati, Emil terus menyuarakan keprihatinannya pada isu-isu pembangunan dan lingkungan hidup.  

Ia bahkan mengatakan bahwa selama ini ilmu bekonomi ikut merusak lingkungan, dan peranan itu harus segera diperbaiki.

Guru besar dari Universitas Indonesia (UI) ini juga berbicara mengenai para cukong dalam demokrasi yang tak kalah dalam merusak lingkungan.  Termasuk soal pembangunan infrastruktur seperti kereta cepat Jakarta-Bandung dan pemindahan ibu kota negara yang menurutnya harus dipertimbangkan secara matang.

Berikut  perbincangan Rosi bersama Profesor Emil Salim.

Baca Juga: Emil Salim Kritik Prabowo soal Anggaran Alutsista Rp 1.700 Triliun: Urgenkah?

Prof,  saya ingin mendengar banyak pemikiran Prof Emil Salim. Anda ini di masa Presiden Soeharto, pernah menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan pernah menjadi Menteri Perhubungan?

Saat kita bicara di bulan November, biasanya jika bulan sudah ber-ber, sudah musim hujan dan pasti kabar yang sering terdengar kabar buruk mengenai bencana alam, ada banjir bandang, tanah longsor.

Menurut Anda  ini adalah persoalan dari dulu yang yang tak pernah selesai, atau ada kontribusi pembangunan saat ini?

Jadi saya ini pendidikannya ekonomi. Jadi belajar ekonomi melalui pasar, di beberapa sumber daya alam, menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan dan demikian imbasnya pada product domestic bruto, pendapatan nasional dan sebagainya.

Itu adalah pola pikir dalam pendidikan yang saya alami, lalu saya diminta Pak Harto masuk ke lingkungan. Saya terus terang berkata pada beliau,  saya ini ekonom, jadi tak mengerti ekonomi ekologi.

Tapi dia berkata, ekonomi rumah tangga oleh masyarakat, ekologi rumah tangga alam. Jadi sama-sama rumah tangga.

Beliau kemudian berkata, saya juga tak dilatih menjadi presiden, maka kita sama-sama belajar. Sejak itu saya belajar, apa itu ekologi, mengapa lahir ekologi, apa salahnya. Dalam proses mencari makna lingkungan hidup, maka saya jumpai dunia lain.

Bahwa ekonomi yang saya pelajari tidak sempura. Kedua,  ekonomi yang saya pelajari jadi penyebab kerusakan lingkungan, jadi Masyallah, apa yang saya pelajari menjadi penyebab dan sekarang harus saya perbaiki.

Ini jadi semacam soul searching, bagaimana caranya ini. Apa yang salah? Kebetulan terbentuk Komisi Brundtland, World Commission on Environment and Development. Nah,  itu saya jadi anggota di pihak pimpinan,  semua jago-jago dan paham lingkungan.

Tahun berapa itu?

Tahun 1980-an. Dan tiga  bulan kita keliling dunia melihat di lapangan apa soal lingkungan, mana permasalahan ekonomi. Dampaknya pada lingkungan, dan bagaimana cara perbaikannya.

Dalam tim World Comission itu ada Saburo Okita, yang arsitek pembangunan Jepang setelah perang.

Beliau berkata, kita ini ekonom membikin kesalahan melihat pembangunan sumber daya alam to exploit, bukit ada batu bara gali, minyak gali, hutan tebang, tanam kebun macam jadi alam itu diubah untuk menghasilkan output.

Demi pembangunan?

Jadi apa itu pembangunan, merusak alam. Resource, eksplorasi. Maka kita harus sadar, kita ini ekonom keliru melihat masalah.

Menurutnya, resource itu bukan mati, resource itu hidup, namanya lingkungan hidup. Hutan itu bukan cuma pohon, hutan itu keanekaragaman hayati, ada burung, ada lebah dan macam-macam.

Laut bukan hanya air atau ikan, ekosistem, lingkungan hidup. Maka kata beliau, bagaimana kita bangun sumber daya alam bukan ekspolitatif tapi enrichment, atau pendayaan.

Dari sana saya dapat wawasan pembangunan ekonomi keliru arahnya. Satu resource dilihat eksploitatif, betul pembangunan, tapi generasi berikut bagaimana, mewariskan lobang.

Jadi lahirlah gagasan bagaimana membangun bukan ekspolitasi sumber daya alam tapi pendayaan sumber daya alam.

Jadi alam itu ada keanekaragaman hayati, ada lebah ada macam-macam, bagaimana menggunakan fungsi dari lebah, dari alam itu memperkaya value added, nilai tambah.

Apa itu nilai tambah, yaitu yang berguna bagi manusia, gizi, obat dan macam-macam.

Alam ini jangan dirusak karena mengandung potensi yang diberikan Tuhan tetapi kita perkaya dengan akal, otak, pikiran, value added, resource enrichment, bukan resource eksplorasi.

Baca Juga: Emil Salim: Tak Satu Pun Parpol Perjuangkan Pancasila - SATU MEJA THE FORUM (4)

Maka jika keputusan bahwa hutan harus kita cegah deforestasi, betul, karena tanpa deforistasi hutan akan berkembang menjadi resource untuk  enrichment. Banyak dari isi hutan yang berguna.

Jadi kita ini duduk di atas peti alam, tropical rainforest, kita duduk di atasnya, tapi kuncinya di otak tidak ada.

Maka, jika ada orang mau buka hutan selalu setuju, jual, eksploitasi, mengorbankan kemungkinan resource enrichment.

Pembangunan itu bukan kelola resource,  merusak hutan, merombak hutan menjadi kelapa sawit. Bukan. Tetapi bagaimana dengan alam yang Tuhan berikan, kita kembangkan value added-nya.

Prof bagaimana dengan anggapan deforestasi jangan sampai menghambat pembangunan?

Keliru, maka kembali ke tim Brundtland, World Commission itu, tiga bulan diskusi, bulan pertama saya sependapat bahwa kita punya kekayaan alam hutan, tropical rain forrest nomor dua di dunia, mengapa tidak kita berdayakan, kita ini miskin, ini untuk alam, macam-macam.

Dalam diskusi, kentara bahwa teman-teman dari rain forrest di Brasil berkata, rain forest itu lebih dari kayu, lebih dari tanah, dia bio diversity, keanekaragaman hayati, kekayaan yang nilainya lebih tinggi.

Kedua, pengalaman terakhir ini, Covid meledak, lahir zoonosis, yaitu penyakit yang disebabkan bukan oleh manusia tetapi oleh hewan.

Kelelawar melahirkan virus memindahkan ke manusia, lahir Covid. Jadi berkembang zoonosis, penyakit yang bukan berasal dari manusia, tetapi dari lingkungan alam.

Mengapa kelelwar bisa begitu, merupakan reaksi dari terganggunya ekosistem.

Maka tampak ke depan, jika kita berpikir deforistasi untuk pembangunan, mengubah ekosistem hewan, menimbulkan penyakit-penyakit baru, yang kita sebagai manusia belum siap.

Jadi, please bagaimana merubah orientasi berpikir. Indonesia memiliki tropical rain forrest terkaya di dunia, dua samudera, katulistiwa, sinar matahari, kekayaan alam, Masyaallah.

Jadi orang selalu bilang, Anda sekarang duduk di peti emas. Please, cari kuncinya.

Jadi Prof, kalau misalnya banyak bencana alam yang menimpa kita, ada banjir bandang, tanah longsor, menurut Prof Emil Salim, seorang ekonom dan juga penah menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup, ini adalah harga yang harus dibayar dari pembangunan kita yang tidak berorientasi pada lingkungan hidup?

Maka harga yang harus dibayar oleh pembangunan ekonomi yang bagaimana? Yang tidak mengindahkan tata ruang, yang tidak mengindahkan daya dukung alam.

Baca Juga: Harga Sejumlah Komoditas Pangan Berpotensi Naik Tahun Depan

Jadi, yang saya belajar kemudian pola pembangunan berkelanjutan adalah, please gabungkan tiga hal. Jika memakai matriks, Satu ekonomi, kedua lingkungan, ketiga sosial.

Kenapa lingkungan, karena resource. Resource juga ada pemakai non-ekonomi, masyarakat adat, masyarakat Kubu, masyarakat petani, macam-macam. Jadi ada A, B, C.

Lantas ekonomi berpengaruh pada A, B, C. Jadi ada matriks. Maka telusuri, jika ada deforestasi, apa yang hancur? Lingkungan, alam, daya serap air, air itu sungai, merubah ekosistem, melahirkan zoonosis.

Menimbulkan dampak kepada masyarakat yang bergantung pada alam tersebut.

Jadi, please lihat pembangunan holistik. Bukan hanya pembangunan ekonomi, tetapi juga sosial. Masyarakat mana yang terkena, apa kerugiannya, dan lingkungan.

Bagaimana ekosistem jangan sampai merusak, menimbulkan penyakit-penyakit baru.

Akibat Covid, orang kan bingung, bagaimana, darimana, mengapa Covid? Kau rusakkan ekosistem.

Belajar dong dari hal ini, kalua sekarang Covid kita tidak belajar dari kenyataan ini, nanti, kapan-kapan, akan lahir penyakit lain.

Virus-virus baru dari lingkungan hidup?

Jadi bagaimana ya, dan jika kita orang beragama, maka tampak kerusakan di muka karena ulah tangan manusia. Maka selalu disebut di Quran, jaga alam, pelihara laut, daratan.

Jadi dari sudut agama dan ilmu sudah mengingatkan, dari sudut pengalaman, dari Saburo Okita di Jepang mengalaminya, mengapa kita ragu-ragu terhadap merubah pola pembangunan dari resource eksploitasi ke resource enrichment. Why?

Jadi  Anda ingin mengatakan kepada para ekonom ya, bertaubatlah jangan melulu berorientasi pada pembangunan yang mengeksploitasi alam?

Perubahan ini pada 1992 telah disepakati di Rio De Janeiro. Saat itu Pak Harto jadi ketua delegasi, saya masih Menteri Lingkungan Hidup, telah menandatangani mengenai perubahan iklim, bio diversity dan statement mengenai pembangunan berkelanjutan.

Pada 10 tahun kemudian, 2002, peringatan di Johannesburg, saya waktu itu menjadi ketua pertemuan itu. Ibu Megawati adalah Presiden pada 2002. Beliau pergi ke Johannesburg ikut pertemuan itu.

Pada 2009 dan sebagainya, sampai SBY pada 2015, ikut aktif di dalam deklarasi G-20. Jadi berturut-turut Pak Harto, Ibu Megawati hingga pak SBY, kita terus pembangunan berkelanjutan. Mengapa tidak dilanjutkan?

Oleh Presiden Jokowi?

Dan Menteri Lingkungan, Menteri Industri, Menteri Ekonomi. Tentang Presiden, saya ketika jadi Menteri diajarkan oleh Widjojo (Widjojo Nitisastro, ekonom dan menteri di era orde baru, red), kita sekarang Menteri, kita diangkat sebagai pembantu Presiden.

Apa tugas kita? bukan minta dilindungi presiden, tetapi kita melindungi presiden.

Jadi menjadi bumper, jika ada orang A-B-C, maka gunakan tanggung jawab itu untuk menyelamatkan presiden.

Tentu banyak orang ingin presiden menandatangani macam-macam, dan sebagai pembantu presiden jagalah.

Jadi benteng, agar Presiden tidak hanya menandatangani sesuatu yang bertentangan?

Begini, beliau itu tidak maha tahu. A simple minded man, Pak Soeharto dan lainnya. Pak Jokowi mengerti ilmu kehutanan, tetapi ilmu lingkungan, strategi, resources use dan segala macam, kita punya aparatnya.

Ada Bappenas, Perincian Regional, Resouce Use Strategy dan macam-macam. Mengapa ini kita tidak jadi masukan, demi keputusan dari presiden yang viable dan rasional.

Baca Juga: Nadiem Makarim: Permendikbud PPKS Adalah Upaya Pencegahan, Bukan Legalkan Zina

Pengalaman saya itu banyak, para pemimpin punya cita-cita itu logis. Tentu setiap pemimpin ingin perform. Saya punya kesempatan mengangkat derajat kebahagiaan, kesejahteraan masyarakat. Waktu saya singkat. Apa yang bisa saya lakukan?

Karena itu, tugas kita membantu cita-cita presiden on the right track, jangan kau ikut mengusulkan the wrong track, karena itu kau disebut pembantu Presiden.

Jangan justru menjerumuskan Presiden?

Pembantu Presiden bukan yes man. Pembantu Presiden adalah honest man. Jadi kalau ada hal-hal pada Pak Harto, beliau ngomong A. Terus saya bilang alternatif A untung ruginya X-Z, lalu ada alternatif B pak, untung ruginya A-B.

A-B kalau dihitung jangka panjang, yang diuntungkan kelompok A, manfaatnya, ini. Bapak mau apa X-Z, A-B. Bapak mau apa. Let him choose. Tapi Anda sebagai menteri, beri Presiden alternatif, yang kau anggap sebaik-baiknya bagi kepentingan Presiden demi kemajuan bangsa.

Kalau bukan yes man, bukan berarti menentang. Jadi selalu melindungi Presiden dengan logika. Apa yang terbaik untuk negara itu yang kita ajukan ke Presiden, tapi kadang-kadang juga bisa berbeda pendapat.

Pernah suatu ketika, Pak Harto tidak setuju devaluasi. Maka Pak Widjojo mengajukan, dengan devaluasi konsekuensinya X-Y-Z, tanpa devaluasi konsekuensinya A-B-C.

Beliau lihat kok jadi tambah buruk tanpa devaluasi. Akhirnya, Presiden menyetujui devaluasi. Jadi, tiap pemimpin memiliki logika atau conscious, makanya kita beri rasionalitas kepada pemimpin.

Jangan apa-apa yes, yes, Anda adalah pembantu, dan pembantu bukan yes man.

Bagaimana di tahun 2024 nanti, Indonesia bisa bebas dari cukong demokrasi?

Ibu bicara partai politik, nah partai politik, calon-calon presiden dipilih macam-macam pemilu, dicalonkan partai politik. Maka lahir sistem politik di Tanah Air kita, yang kita kenal dengan demokrasi, tetapi Mahfud (Menkopolhukam Mahfud MD)  ahli ilmu negara, mengatakan realitas demokrasi kita ada cukong demokrasi.

Jadi, apa yang terjadi di lapangan jika saya misalkan berada di partai? Di lapangan berlaku cukong demokrasi, maka saya sebagai pemimpin partai tentu akan menyesuaikan diri, karena realitanya begitu.

Jadi, inti masalahnya adalah cukong demokrasi. Mengapa ada cukong demokrasi? Karena ada cukongnya. Mengapa ada cukongnya?  Karena market pasar memungkinkan tumbuhnya cukong.

Prof, kan Cukong identik dengan dagang, kalau partai politik di mana dagangnya?

Kenapa beliau merasa perlu dengan pedagang, kenapa tidak dengan X-Y-Z itu. Karena pedagang itu besar kekuasaannya. Karena pedagang itu memiliki dana untuk membantu di dalam pemilihan, pilkada dan macam-macam.

Maka demokrasi Indonesia,  satu  kata Mahfud, cukong Demokrasi.  Kedua kata para ahli, demokrasi captured, tersandera, oleh orang yang memiliki uang. Jadi sebagai doktor, analisis sistem ekonomi kita tergantung pada siapa yang menguasai pasar.

Siapa yang menguasai pasar, yaitu yang memiliki dana dan modal besar. Mengapa ia bisa mempunyai dana besar, modal besar? Lalu kita ambil jarak, apa sistem ekonomi di dunia ini?

Kita mengenal Uni Sovyet, rencana ekonomi terpusat, tanpa pasar. Putin bilang A, semua bilang A. Tapi di ujung lainnya, ada ekonomi pasar bebas. Amerika dan macam-macam.

Indonesia berkata, kita menolak ekonomi terpusat dan ekonomi liberal, seperti yang diucapkan Bung Karno.

Kita mau, kata beliau, ekonomi terpimpin. Apa itu ekonomi terpimpin? Ini yang lama saya berpikir, bagaimana menerjemahkan ekonomi terpimpin yang bukan pasar bebas, dan bukan ekonomi pusat.

Maka timbul satu gagasan, faktor kuncinya adalah bagaimana pasar kita. Siapa pemain dalam pasar tersebut. Bagaimana pasar itu menghasilkan tokoh-tokoh yang menguasai pasar.

Jika pasar tersebut benar-benar bebas. Maka lahirlah Donald Trump, orang-orang yang punya kekuatan.

Jadi pasar itu yang penting. Usahakan pasar tidak didominasi satu-dua perusahaan atau market share. Di BPS, ada publikasi market share industri rokok dikuasai oleh X-Y-Z da informasi itu.

Yang kedua, kita punya pengawas dari Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), A dan B kita kawinkan.

Usahakan supaya pasar ekonomi Indonesia tak dikuasai oleh orang yang dominan menguasai pasar, lalu market share diatur supaya kompetisi berjalan, supaya tidak lahir monopoli, tidak lahir cukong.

Jadi source dari lahirnya cukong yang kita serang, dan sumber dari cukong itu adalah struktur pasar.

Struktur pasar juga diperluas, berarti konsentrasi market share jangan hanya berada di satu, dua atau tiga tangan.

Siapa yang seharusnya mengawasi? Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Tembak langsung sumber masalahnya.

Mahfud bilang cukong itu demokrasi. Baiklah, jika semua ingin demokrasi ayo cari tahu, supaya jangan ada cukong. Dari mana cukong lahir? Pasar. Bagaimana mengatur pasar? Komisi Pangawas Persaingan Usaha.

Konsep ini perlu disepakati pak Jokowi dan pemerintahan, bahwa kita ingin memberi isi pada ekonomi Pancasila.

Bung Karno bilang, tidak ada ekonomi kapitalis dan ekonomi terpusat, di tengah-tengah. Kita harus cari tengah-tengah itu.

Mereka yang mengkritik apa yang terjadi sekarang ini,  ada yang mengatakan kita berada dalam sistem oligarki?

Ya, dengan jalan yang saya usulkan dan adanya market share yang tersebar, tidak akan terjadi oligarki.

Sekarang menurut Prof apa itu yang sedang terjadi?

Jalan keluar dari kritik terhadap cukong demokrasi, jalan keluar dari oligarki itu ada. Market share, KPPU, ayo bekerja bersama menciptakan ini, pemerintah dan masyarakat sipil.

Jika melihat profiling kabinet dan parlemen itu banyak diisi para pengusaha. Menurut Anda  ini sesuatu yang baik karena kita akan punya orientasi pada ekonomi, pada bisnis, atau sesuatu yang sesungguhnya mencemaskan karena ada konflik kepentingan?

Ibu menyebut ada bussinesman. Interest bussinesman, bukan makro interest, tetapi mikro interest bussines.



Sumber : ROSI Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x