Kompas TV kolom opini

Bung, Saya Tidak Paham

Kompas.tv - 25 Juli 2021, 07:10 WIB
bung-saya-tidak-paham
Repro poster "Boeng, Ajo Boeng" karya Affandi. (Sumber: Istimewa)

Oleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas
 

I
Bung. Begitu kami saling menyapa selama ini. Ada tiga sahabat yang saya sapa dengan sapaan “Bung”. Mereka pun menyapa saya dengan sapaan yang sama, “Bung”. Tiga sahabat itu: satu teman sekolah menengah pertama, satu teman kuliah, dan satu lagi teman setelah bekerja. Yang terakhir, yang paling muda di antara keduanya. Yang juga berarti lebih muda dari saya.

Tidak tahu persisnya, mengapa kami saling menyapa dengan sapaan “Bung”, seperti di zaman revolusi perjuangan saja. Yang jelas, kami nyaman dengan saling menyapa “Bung”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “bung”, berarti “abang.”

Sapaan “Bung” itu mula pertama digunakan setelah terbentuknya Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI), 17-18 Desember 1927 di Bandung. Bung Karno-lah yang memopulerkan sapaan “Bung” itu. “Dipanggil ‘Bung’ (panggilan akrab kepada saudara) sesuai anjurannya…” (Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, 2006, hlm. 363). Mungkin, sama dengan “kamerad” sapaan akrab dalam Revolusi Rusia.

Ada kisah lain. Suatu hari Bung Karno menginginkan dibuat sebuah poster untuk memberikan semangat pada kaum muda. Affandi, yang sejak zaman perjuangan dikenal sebagai pelukis, lalu membuat poster. Yang dijadikan model untuk lukisannya adalah Dullah, yang juga seorang pelukis.

Dalam poster itu, digambarkan seorang pemuda berteriak, kepala menoleh ke kanan, tangan kanannya memegang bendera merah putih, dan kedua tanganya ada rantai putus… Oleh Chairil Anwar, seorang penyair, diberi kata-kata “Boeng, Ajo Boeng”.

II

Sekarang ini, memang, bukan lagi zaman revolusi perjuangan, tetapi tetap zaman perjuangan. Dulu berjuang untuk kemerdekaan bangsa, bersama-sama mengorbankan segalanya, termasuk nyawa, demi lahirnya negara Indonesia. Sekarang berjuang bersama untuk menghentikan penyebaran Covid-19.

Dalam setiap perjuangan, selalu saja ada yang berkhianat, mengkhianati perjuangan, mencari keuntungan diri. Dahulu di zaman revolusi perjuangan ada. Sekarang pun, ada! Tentu, bentuk pengkhianatannya berbeda-beda.

Sekarang ini, ketika hampir semua lapisan masyarakat berjuang untuk mengatasi pandemi Covid-19, ada saja orang-orang yang mencari untung di tengah kemalangan, di tengah penderitaan. Ada yang korupsi dana bantuan sosial. Ada yang menaikkan harga obat-obatan. Ada yang memungli biaya pemakaman korban Covid-19, seperti yang terjadi di Bandung beberapa waktu lalu. Bahkan, ada yang membuat jaringan mafia kremasi jenazah korban Covid-19.

Bukankah semua itu adalah bentuk pengkhianatan. Pengkhiatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan. Pengkhianatan terhadap hati nurani. Bukankah, setiap manusia mempunyai hati nurani yang menuntut manusia untuk berlaku berdasarkan prinsip-prinsip moral, seperti bertindak adil, benar, dan jujur.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x