Kompas TV kolom opini

Om, Kami Serumah Positif

Kompas.tv - 11 Juli 2021, 14:29 WIB
om-kami-serumah-positif
Ilustrasi Virus Corona (Sumber: SHUTTERSTOCK/PETERSCHREIBER MEDIA)

Oleh: Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas

“Om, kami serumah positif. Kena..” Begitu keponakan saya memberi kabar lewat WA. Belum sempat saya jawab, ia sudah mengirimkan informasi lanjutan: “Istri dan dua krucilku, juga kedua orangtua, serta mbak.” Saya bayangkan, dua bocah laki-laki lucu-lucu yang usianya belum genap lima tahun.  Yang satu baru empat tahun, satunya dua tahun, tergolek tak berdaya.

Berita itu saya terima suatu malam beberapa hari lalu. Sebelumnya, seorang kawan memposting di WA Grup, mengabarkan bahwa tiga teman terkena Covid-19 dan memohon doa. Sebelumnya lagi, di WA Grup yang lain, teman yang berbeda mengabarkan berita yang sama bahwa ada kawan yang mohon bantuan doa agar segera sembuh dari Covid-19.  Sebelumnya lagi, berita yang sama berebut masuk ke telepon.

Lalu, adik di desa memberi tahu, tetangga depan rumah—seluruhnya, 13 orang—positif. Semalam, istri mengatakan bahwa di kompleks kami tinggal ada sejumlah warga yang positif. Dua hari lalu, seorang kerabat dekat di Surabaya, seorang dokter ahli jantung, juga meninggal karena Covid-19. Hari berikutnya, seorang warga kompleks tempat kami tinggal, meninggal karena kecelakaan tunggal di jalan tol saat bersama istrinya mencari oksigen. Suami istri ini, juga terkena Covid-19.

Setiap saat, telepon tang-tung-tang-tung memberi tanda adanya kabar yang masuk. Dan, kabar yang disampaikan tak jauh-jauh dari Covid-19: entah itu ada kawan yang positif, entah ada kawan yang mengabarkan kawannya membutuhkan donor plasma konvalesen, entah memberi tahu obat yang mujarab, entah menginformasikan perlunya memakai masker rangkap, entah mengeluhkan sulit mencari oksigen,sulitnya mencari rumah sakit, entah mengirim gambar antrean orang yang mau vaksin.  Dan, kabar tentang meninggalnya seorang kawan. Begitulah.

Sudah begitu banyak tenaga kesehatan meninggal. Menurut data yang dihimpun Persatuan Rumah Sakit Indonesia dan sejumlah asosiasi profesi kesehatan mencatat, hingga 28 Juni 2021 ada 1.031 tenaga kesehatan yang telah meninggal karena Covid-19. Menurut Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr M Adib Khumaidi SpOT, hingga akhir Juni lalu, total dokter yang meninggal akibat Covid-19 mencapai 401 orang. Dan, hingga hari Sabtu (10/7), pukul 16.424 tercatat 2.491.006 orang positif, 65.457 orang meninggal dan, 2.052.109 sehat kembali.

Virus korona menyerang 220 negara di seluruh dunia dan 186.945.989 orang menjadi korban; 4.037.437 orang meninggal dunia, 170.984.178 orang dinyatakan sembuh.  (worldmeters).

Hanya saja, mengapa masih saja ada orang yang tidak peduli pada keadaan negeri ini. Mengapa masih ada orang yang tidak mau menaati protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Mengapa masih saja ada orang yang tidak percaya bahwa virus korona itu ada? Mengapa masih ada saja orang yang menggunakan dalil-dalil agama untuk mencari pembenaran diri dan menganggap sepi aturan pemerintah? Mengapa masih saja ada orang yang menebar ketakutan, kebohongan ke tengah masyarakat terkait dengan Covid-19?

Mengapa masih saja ada orang yang mencari popularitas di tengah pandemi ini? Mengapa masih banyak pula yang mencari keuntungan dari penderitaan orang lain? Mengapa ada yang menjadikan kecemasa publik sebagai komoditas politik? Mengapa ada pula elite politik yang lebih suka mencari-cari kesalahan pemerintah ketimbang ikut menyingsingkan lengan baju untuk bersama-sama menyelamatkan negeri?

Mencari kesalahan pihak lain, memang paling mudah. Apalagi di “zaman yang tidak normal” ini. Orang cenderung tidak melihat balok di matanya sendiri, tetapi lebih melihat selumbar di mata orang lain.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.