Kompas TV internasional kompas dunia

Diskriminatif, Kelompok Negara Penghasil Minyak Sawit Desak Uni Eropa Tinjau Ulang Kebijakan Biofuel

Kompas.tv - 26 Juni 2021, 03:05 WIB
diskriminatif-kelompok-negara-penghasil-minyak-sawit-desak-uni-eropa-tinjau-ulang-kebijakan-biofuel
Organisasi negara-negara produsen minyak kelapa sawit, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) desak Uni Eropa (EU) gunakan kebijakan non-diskriminatif dan tinjau kembali kebijakan atas minyak nabati sebagai bahan bakar hayati atau biofuel di bawah kerangka Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive II). (Sumber: Antara)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Hariyanto Kurniawan

JAKARTA, KOMPAS.TV - Organisasi negara-negara produsen minyak kelapa sawit, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) desak Uni Eropa (EU) menggunakan kebijakan nondiskriminatif dan meninjau kembali kebijakan minyak nabati sebagai bahan bakar hayati atau ‘biofuel' di bawah kerangka Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive II).

Dalam keterangan tertulis CPOPC yang diterima di Jakarta, Jumat, seperti dilansir dari Antara, Jumat, (25/06/2021), dikatakan desakan tersebut terkait rencana revisi arahan yang akan dilakukan pada 14 Juli mendatang, bersamaan dengan tenggat waktu Komisi EU melaksanakan aturan sertifikasi Konversi Penggunaan Lahan Tak Langsung atau ILUC untuk risiko bahan bakar hayati dan pemutakhiran daftar bahan baku berisiko tinggi dengan komponen ILUC.

CPOPC meyakini penggunaan ILUC sebagai alat kebijakan dinilai bermasalah sejak awal, terutama dari sisi metodologi, dan dinilai tidak tepat.

Hal itu membutuhkan pendekatan baru untuk memperlakukan setara semua minyak nabati berkelanjutan berdasarkan praktik produksi yang terverifikasi dan bukan berdasarkan jenis komoditasnya.

“Minyak sawit sering dianggap sebagai penyebab kerusakan lingkungan berdasarkan sebuah studi perbandingan yang menggunakan jangka waktu tahun 2008 -2016 sebagai bentuk ukuran untuk ILUC.

Baca Juga: Menlu Retno Marsudi Kembali Minta Uni Eropa Adil Terhadap Kelapa Sawit Indonesia

Buah kelapa sawit yang baru dipanen. CPOPC meyakini penggunaan ILUC sebagai alat kebijakan dinilai bermasalah sejak awal, terutama dari sisi metodologi, dan dinilai tidak tepat. (Sumber: KONTAN.CO.ID)

"Tenggat waktu ini mendiskriminasi negara-negara yang terlambat dalam proses pembangunan yang selama periode tersebut terbentur dengan aturan Perubahan Penggunaan Lahan,” papar CPOPC.

Selain terkait metodologi tersebut, CPOPC juga menyoroti penelitian ilmiah yang menunjukkan minyak sawit memiliki efisiensi energi empat kali lipat lebih dari minyak rapa atau kedelai, dan jika penelitian tersebut diterapkan pada analisis EU mengenai penggunaan lahan minya nabati, maka minyak sawit akan keluar sebagai tanaman yang paling efisien untuk energi terbarukan.

Adapun negara-negara produsen minyak sawit, terutama Indonesia dan Malaysia, yang sama-sama memiliki kepentingan dalam program bahan bakar hayati di EU menunjukkan komitmen dan tindakan nyata terhadap keberlanjutan produksi minyak sawit.

Indonesia memberlakukan moratorium untuk pembukaan lahan baru kelapa sawit, sementara Malaysia telah menetapkan pembatasan total luas areal budidaya kelapa sawit sebesar 6,5 juta hektare.

Baca Juga: Menlu Ketemu Perwakilan Tinggi Uni Eropa: Jangan Diskriminasi Sawit Indonesia

“Penurunan drastis dari kebakaran hutan dan deforestasi di Indonesia juga harus mendapatkan pengakuan internasional,” tambah CPOPC, yang juga mengatakan program sertifikasi nasional seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) berperan besar dalam membangun keberlanjutan produksi minyak sawit.

CPOPC pun menyampaikan apresiasi terkait pengelolaan penggunaan lahan yang lebih baik oleh kedua negara dan upaya yang dilakukan melalui pengelolaan berkelanjutan atas semua sumber daya alam serta dampak positif industri minyak kelapa sawit bagi jutaan petani yang telah dapat keluar dari kemiskinan.

Lebih lanjut, CPOPC menyatakan mereka menantikan kelanjutan Kelompok Kerja Bersama EU dan ASEAN terkait minyak nabati yang berkelanjutan, di mana pendekatan menyeluruh dan nondiskriminatif terhadap minyak nabati dapat dikembangkan untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Organisasi tersebut menegaskan ambisi global untuk mengurangi karbon saat ini sangat mendesak dan bahan bakar hayati adalah alat yang dibutuhkan dalam memerangi perubahan iklim tanpa mengganggu ekonomi global.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x