Kompas TV nasional berita utama

Tidak Produktif, Setara Institute Minta Polemik dan Manuver dari Pihak Tak Lulus TWK Dihentikan

Kompas.tv - 10 Juni 2021, 08:48 WIB
tidak-produktif-setara-institute-minta-polemik-dan-manuver-dari-pihak-tak-lulus-twk-dihentikan
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan (kanan) berjalan usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5/2021). Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dengan didampingi beberapa lembaga hukum melakukan pengaduan terkait dugaan pelanggaran HAM pada asesmen TWK. (Sumber: ANTARAFOTO)
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV- Setara Institute berharap polemik dan manuver politik dari pihak yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dihentikan. Bagi Setara Institute, polemik dan manuver politik terkait TWK merupakan hal yang tidak produktif.

Demikian Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan dalam keterangan tertulis, Kamis (10/6/2021).

“Tersedia mekanisme hukum PTUN untuk memperjuangkan aspirasi mereka,” kata Hendardi.

“Demikian pula seyogyanya lembaga-lembaga seperti Komnas HAM tidak mudah terjebak untuk terseret dalam kasus, yang kendati cepat populer tapi bukan merupakan bagian mandatnya dan membuang-buang waktu,” tambah Hendardi.

Hendardi menuturkan dalam konteks seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) memang bisa saja pelanggaran terjadi. Misalnya, seseorang tidak diluluskan (dicurangi/diskriminasi -red) atau karena tidak dipenuhi hak-haknya ketika diberhentikan dari pekerjaannya (pelanggaran HAM).

Baca Juga: Menkumham: Jika Tak Sepakat, Silakan Gugat Hasil TWK KPK ke Pengadilan

“Tapi tentu harus dibuktikan dengan data yang valid,” ujar Hendardi.

Atas dasar itu, Hendardi juga menilai pemanggilan yang dilakukan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN tidak tepat dan mengada-ada.

Hendardi menuturka Komnas HAM hanya terpancing irama genderang yang ditabuh 51 pegawai KPK tidak lulus TWK.

“Test Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diselenggarakan KPK melalui vendor BKN dan beberapa instansi terkait yg profesional adalah semata urusan administrasi negara  yang masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN),” kata Hendardi.

“Dan hal ini merupakan perintah UU dalam rangka alih tugas pegawai KPK menjadi ASN. Jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini mestinya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana,” tambahnya.

Tak hanya, sambung Hendardi, pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN justru ingin mengesankan seolah ada aspek pelanggaran HAM yang terjadi.

Baca Juga: 2 Dugaan Pelanggaran Etik Lili Pintauli Siregar yang Dilaporkan Novel Baswedan Cs ke Dewas KPK

“Semestinya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi dimana ada dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN,” ujarnya.

Hendardi lebih lanjut menyampaikan, semestinya Komnas HAM melakukan mekanisme penyaringan untuk setiap pengaduan. Agar Komnas HAM tidak mudah digunakan sebagai alat siapapun dengan interes apapun.

“Komnas HAM harus tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights),” kata Hendardi.

Dalam persoalan alih status menjadi ASN dimanapun, kata Hendardi, sangat wajar jika Pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU.

Karena untuk menjadi calon pegawai negeripun memerlukan syarat-syarat tertentu termasuk melalui sejumlah test antara lain tentang kebangsaan.

“Menjadi ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK, namun ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus (kurang dari 5,4%) yang menuntut diistimewakan,” ujarnya.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x