Kompas TV bisnis kebijakan

Negara G7 Pajaki Google Cs 15 Persen, Ditjen Pajak: Tarif Pajak Kita Lebih Tinggi

Kompas.tv - 7 Juni 2021, 22:26 WIB
negara-g7-pajaki-google-cs-15-persen-ditjen-pajak-tarif-pajak-kita-lebih-tinggi
Ilustrasi: pungutan pajak. (Sumber: Thinkstock) 
Penulis : Dina Karina | Editor : Hariyanto Kurniawan

JAKARTA, KOMPAS.TV- Menteri keuangan dari negara-negara anggota G7 sepakat menetapkan tarif pajak penghasilan (PPh) bagi korporasi multinasional minimal 15 persen. Perusahaan yang akan dikenakan aturan ini adalah korporasi besar berbasis teknologi seperti Google, Apple, Amazon, dan Facebook.

Lantaran, perusahaan-perusahaan tersebut selama ini hanya membayar pajak di negara asal mereka berada atau di negara tempat mereka mendirikan data server. Padahal, mereka mendapatkan penghasilan dari penjualan dari seluruh dunia.

Lantas apakah langkah ini akan diikuti oleh Indonesia? Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Dirjen Pajak Kemenkeu Neilmaldrin Noor mengatakan, kesepakatan itu tidak secara langsung mempengaruhi sistem perpajakan Indonesia.

Karena, tarif pajak korporasi di Indonesia saat ini sebesar 22 persen dan akan turun menjadi 20 persen pada 2022.

Baca Juga: Beli Voucer Free Fire, Mobile Legends, hingga PUBG Kena Pajak 10 Persen

"Artinya tarif pajak kita sudah lebih tinggi daripada tarif Global Minimum Tax yang disepakati negara-negara G7, " kata Neilmadrin kepada Kompas TV, Senin (07/06/2021).

Namun, lanjutnya, kesepakatan negara-negara G7 ini akan menjadi dasar yang kuat untuk konsensus multilateral yang sedang didiskusikan dalam forum OECD inclusive framework, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya.

"Sampai saat ini, negara-negara anggota terus berkomitmen untuk terlibat secara aktif dalam pencapaian konsensus global, yang tidak hanya terkait Global Minimum Tax, tetapi atas pemajakan ekonomi digital secara luas, yang direncanakan tercapai pada pertengahan tahun 2021 ini, " jelasnya.

Neilmadrin menerangkan, konsensus global tersebut yaitu terkait adanya tax treaty dengan negara lain.

Baca Juga: Gabung Netflix Dkk, 8 Perusahaan Jadi Pemungut Pajak Digital

Mengutip laman resmi Kemenkeu, tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)  adalah pengenaan pajak lebih dari 1 kali oleh 2 negara atau lebih atas suatu penghasilan yang sama.

Tax treaty ditujukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan dari suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber (negara tempat sumber penghasilan berasal) dan negara domisili (negara tempat wajib pajak tinggal atau menetap).

Ada 5 tujuan tax treaty yaitu menghindari pajak berganda yang akan membebani dunia usaha, meningkatkan investasi asing, meningkatkan sumber daya manusia (SDM), pertukaran informasi untuk mencegah pengelakan pajak (tax evasion), dan kedudukan antar negara adalah setara. 

"Untuk non-treaty partner, pemerintah sudah bisa melakukan pemungutan PPN produk digital dan melalui UU No 2 tahun 2020," ujar Neilmadrin.

Baca Juga: Megawati Sebut SIN Dorong Penerimaan Pajak dan Cegah Korupsi

"Sementara khusus untuk PPh dari treaty partner, pemungutannya dapat dilakukan setelah konsensus global tercapai dan istiahnya bukan PPh, melainkan Electronic Transaction Tax (ETT) atau Pajak Transaksi Elektronik (PTE)," tambahnya.

Pajak minimum 15 persen untuk raksasa teknologi itu berawal dari usulan Menteri Keuangan Amerika Serikat, Janet Yellen. Usulan itu kemudian dibahas di pertemuan menteri keuangan negara G7 di London, Inggris, akhir pekan lalu.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x