Kompas TV brandsight
BrandSight
Konten ini merupakan kerjasama KompasTV dengan IOM-UN

Perempuan dan Anak Rentan Jadi Sasaran Perdagangan Orang

Kompas.tv - 1 April 2021, 17:51 WIB
Penulis : Elva Rini

JAKARTA, KOMPAS.TV – Pandemi menempatkan perempuan dan anak ke posisi yang semakin rentan menjadi korban perdagangan orang. International Organization for Migration (IOM) ingin masyarakat lebih waspada dengan segala bentuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 Pasal 1, perdagangan orang didefinisikan sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Sejak sebelum pandemi, perempuan dan anak sudah menjadi kelompok paling rawan menjadi korban. Menurut laporan International Labour Organization (ILO) tentang Estimasi Global Tahun 2017 pada Perbudakan Modern, terdapat sekitar 16 juta (57,6% perempuan) korban eksploitasi kerja paksa oleh para pelaku sektor swasta di seluruh dunia dan terdapat 4.8 juta (99% perempuan) yang mengalami eksploitasi seksual pada 2016. Perempuan dan anak-anak sampai sekarang masih menjadi sasaran paling empuk perdagangan orang. Selain itu, saluran yang dimanfaatkan pelaku pun lebih variatif, salah satu yang sedang tren adalah melalui pemanfaatan platform digital.

Media siber seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, aplikasi kencan, dan platform digital lainnya, justru mempermudah proses perekrutan bagi pelaku TPPO. Selain proses rekrutmen menjadi lebih instan dan cepat, pelaku juga dapat dengan mudah menyamarkan diri sebagai otak perekrut yang sebenarnya.

Di masa pandemi Covid-19, P2TP2A Jakarta mencatat kenaikan kasus TPPO sebanyak 119 korban (70 perempuan, 49 anak). Angka ini menunjukkan kenaikan sangat signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2019) sejumlah 22 orang. IOM pun mencatat sepanjang tahun 2020, terdapat 151 kasus yang dirujuk kepada IOM untuk memperoleh pendampingan dan pemulihan.

Jika dulu perekrutan kerja melibatkan orang lapangan yang datang dari satu desa ke desa lainnya, kini pelaku TPPO bisa langsung membuat iklan atau pos di grup media sosial dengan syarat yang paling umum: harus perempuan.

Andil masyarakat

Indonesia merupakan salah satu negara asal perdagangan orang ke berbagai negara tujuan, di antaranya Malaysia, Singapura, Brunei, Taiwan, Jepang, Hongkong, dan negara-negara di Timur Tengah. Tekanan ekonomi, seperti sulitnya mencari pekerjaan, populasi penduduk yang padat dan secara kuantitatif banyak terdapat penduduk pra-sejahtera menjadi alasan tingginya kasus TPPO di Indonesia.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat peningkatan kasus TPPO dari 213 kasus pada 2019 menjadi 400 kasus pada 2020. Data yang dicatat oleh IOM di Indonesia juga menyoroti meningkatnya jumlah korban perdagangan anak pada tahun 2020, di mana 80 persen di antaranya dieksploitasi secara seksual.

Dalam praktik perdagangan orang, siapa pun bisa menjadi pelaku, bahkan orang terdekat sekali pun. Hal ini tentu menyulitkan pihak yang ingin memberantas TPPO karena keluarga memiliki andil yang besar dalam melindungi anggota keluarganya.

Tak hanya itu, banyaknya korban yang tidak ingin melapor dan, bahkan, tidak sadar bahwa mereka menjadi korban TPPO turut menjadi tantangan dalam penanggulangan perdagangan orang.

Dalam hal ini, peran masyarakat sangat dibutuhkan. Koordinator Divisi Advokasi Yayasan Pusaka Indonesia Medan, Elisabeth Juniarti mengatakan bahwa di Nusa Tenggara Timur (NTT), TPPO banyak dibongkar oleh pihak gereja setempat.

“Hampir 20 orang perempuan asal NTT dipekerjakan di sarang burung walet. Sudah 10 tahun mereka tidak pernah keluar karena mereka tidak punya akses komunikasi. Lalu siapa yang tahu? Di sini lah perlunya perhatian masyarakat untuk memahami, peduli dengan situasi sekitarnya,” tegas Elisa.

“Kami harapkan juga peran seperti lurah atau kepala desa. Terkadang mereka menutup mata. Seharusnya orang bertamu 2x24 jam harus melapor, ini tidak ada. Kasus sarang burung walet itu ada di pemukiman, seharusnya bisa dideteksi lebih awal,” imbuhnya.

Terkait hal ini, Pemerintah telah membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP-TPPO).

Koordinasi pencegahan dan penanganan kejahatan perdagangan orang dibentuk di tingkat nasional oleh GTPP-TPPO, diikuti pembentukan gugus tugas di tingkat provinsi.

Kendati demikian, Pemerintah tidak bisa bergerak sendirian. Andil masyarakat sangat besar dalam melapor kecurigaan terhadap TPPO di lingkungan terdekat.

IOM terlibat secara aktif mendukung Gugus Tugas TPPO di tingkat nasional maupun daerah melalui pendekatan 3P, yaitu prevention, prosecution, and protection, atau pencegahan, penuntutan, dan pelindungan.

Dukungan tersebut di antaranya berupa integrasi data layanan yang diberikan kepada korban TPPO, revisi prosedur operasional layanan saksi dan korban, pengembangan panduan operasional gugus tugas, serta pengembangan kapasitas kepada aparat penegak hukum dalam penyidikan dan penuntutan kasus-kasus TPPO, serta layanan langsung kepada korban TPPO, seperti bantuan pemulangan, tempat tinggal sementara, kesehatan, hingga rehabilitasi dan reintegrasi.

Kenali ciri perdagangan orang

Menurut situs resmi International Organization for Migration di Indonesia, perdagangan orang melibatkan 3 unsur penting di dalamnya.

1. Proses: tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang.

2. Cara: melakukan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.

3. Tujuan Eksploitasi: tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

Modusnya beragam, ada yang memanfaatkan jerat hutang, pernikahan dini, kawin kontrak, rekrutmen pekerjaan, pemagangan, dan lain sebagainya.

Namun bagaimana pun modus operandinya, jika ketiga unsur yang telah dijelaskan terpenuhi, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perdagangan orang.

Untuk itu jika terdapat kecurigaan mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan dugaan TPPO, masyarakat diimbau untuk menghubungi layanan Sahabat Perempuan dan Anak Kementerian PPPA (SAPA) melalui telepon 129 atau WA/pesan suara ke 08111 129 129, atau bisa menghubungi layanan pengaduan kasus milik International Organization for Migration (IOM) di 0812 8242 0024.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x