Kompas TV internasional kompas dunia

AS Tinjau Langkah yang Akan Diambil Untuk Myanmar dan Rusia

Kompas.tv - 3 Februari 2021, 05:03 WIB
as-tinjau-langkah-yang-akan-diambil-untuk-myanmar-dan-rusia
Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Ned Price. (Sumber: Associated Press)
Penulis : Tussie Ayu

WASHINGTON, KOMPAS.TV - Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa negara adidaya tersebut tengah meninjau tindakan yang akan mereka ambil sebagai tanggapan atas kudeta di Myanmar dan kerusuhan di Rusia, menyusul ditangkapnya pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny.

"Amerika Serikat sangat prihatin dengan penahanan militer Burma terhadap para pemimpin pemerintah sipil, termasuk Anggota Dewan Negara Aung San Suu Kyi dan para pemimpin masyarakat sipil. Setelah meninjau semua fakta, kami telah menilai bahwa tindakan militer Burma pada 1 Februari, setelah menggulingkan kepala pemerintahan yang terpilih, merupakan kudeta militer. Amerika Serikat akan terus bekerja sama dengan mitra kami di seluruh kawasan di dunia untuk mendukung penghormatan terhadap demokrasi dan supremasi hukum di Burma, serta untuk mempromosikan akuntabilitas bagi mereka yang bertanggung jawab untuk membatalkan transisi demokrasi Burma," ujar Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, dalam konferensi pers Selasa (2/2/2021), seperti dikutip dari the Associated Press.

Baca Juga: Lakukan Kudeta, Biden Ancam Akan Beri Sanksi Pada Myanmar

Kudeta di Myanmar terjadi ketika anggota parlemen berkumpul di ibu kota untuk pembukaan sesi parlemen baru setelah pemilihan umum.

Militer mengatakan, penangkapan pemimpin sipil dan kudeta dilakukan karena pemerintah tidak menindaklanjuti tuduhan kecurangan pemilu yang diungkap oleh militer. Pada November tahun lalu, Myanmar melakukan pemilihan umum dimana partai Aung San Suu Kyi memenangkan pemilihan.

Militer mengklaim kudeta itu legal berdasarkan konstitusi. Namun kudeta itu dikutuk secara luas di luar negeri.

Sedangkan di Rusia, pengadilan Moskow pada hari Selasa memerintahkan Navalny untuk dipenjara selama lebih dari 2,5 tahun. Pengadilan menyatakan bahwa dia melanggar ketentuan masa percobaannya, saat pemulihan diri di Jerman karena keracunan syaraf yang dialaminya.

Keputusan pengadilan itu memicu protes di Moskow dan St. Petersburg.

Baca Juga: AS Minta Militer Myanmar Hormati Hukum dan Suara Rakyat

"Tidak, saya tidak akan mengesampingkan apa pun. Dan jelas kami telah berbicara dengan sangat tegas tentang hukuman Navalny, termasuk dari Menteri Luar Negeri. Maksud saya adalah bahwa ada tinjauan holistik atas hukuman kami. hubungan dengan Rusia yang memperhitungkan berbagai macam aktivitas jahat Rusia. Presiden Biden sudah sangat jelas. Menteri Luar Negeri Blinken sudah sangat jelas. Kami tidak akan menyetujui hal-hal yang telah kami lihat dari Rusia dalam beberapa tahun terakhir. Dan itulah tujuan tinjauan ini, untuk meninjau dan membantu menginformasikan tanggapan kebijakan yang sesuai," ujar Ned Price menanggapi penangkapan Navalny.

Navalny, yang merupakan kritikus Presiden Rusia Vladimir Putin yang paling terkemuka, mengecam proses penangkapannya sebagai upaya sia-sia Kremlin untuk menakut-nakuti jutaan warga Rusia agar tunduk pada pemerintah.

Keputusan untuk menghukum Navalny tetap diambil meskipun ada protes besar-besaran di seluruh Rusia selama dua akhir pekan terakhir. Negara-negara barat pun menyerukan agar juru kampanye antikorupsi berusia 44 tahun itu untuk dibebaskan.

Baca Juga: Uni Eropa Menentang Aksi Kudeta Militer di Myanmar

Hukuman penjara yang dijatuhkan pada Navalny berasal dari dakwaan penggelapan yang terjadi tahun 2014. Tuduhan ini ditolak Navalny dan menurutnya, tuduhan ini dibuat-buat dan sarat nuansa politik.

Navalny ditangkap 17 Januari setelah kembali dari lima bulan masa pemulihannya di Jerman dari serangan yang diduga dilakukan oleh Kremlin.

Otoritas Rusia menyangkal keterlibatan mereka dalam percobaan pembunuhan terhadap Navalny. Meskipun telah diuji oleh beberapa laboratorium Eropa, otoritas Rusia mengatakan mereka tidak memiliki bukti bahwa dia diracun.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x