“Buka warung bangkrut, jualan online enggak bakat, jaminan masa pensiun dari tempat kerja kagak ada. Mustahil duit tabungan bakal awet selama ada ATM. Corona dan 2020 bikin gue mikir masa tua, gue cukup punya duit nggak ya di masa senja nanti?. Investasi saham, jadi jalan ninja terbaik di momen new normal gue. Karena beli saham katanya jangka panjang aja, bukan jangka pendek biar enggak gila, hahaha. Gue serius!”.
Anonim, seorang pekerja swasta, yang setiap hari berkutat dengan rutinitas pekerjaan di bidang teknis, tidak berhubungan langsung dengan dunia bisnis dan ekonomi.
Oleh: Dyah Megasari, Produser Kompas Bisnis
JAKARTA, KOMPASTV. Bukan krisis ekonomi seperti masa 1998 dan 2008, yang membuat kehidupan, terutama “peta keuangan” berubah drastis. Di antara berjuta alasan untuk menghujat pandemi corona alias covid-19, terbersit setitik rasa terimakasih. Virus jenis baru yang menyeret dunia ke jurang kesulitan, justru titik balik penuh kesadaran, bahwa gaji bersifat fana, tak kekal sampai pensiun, jika celaka tak bisa mengaturnya.
Masalahnya, benar kata Anonim di atas. Memutar uang di bisnis langsung, selain mengandalkan keberuntungan juga butuh “sense” atau bakat. Berangkat dari new normal pandemi inilah, muncul fenomena menarik. Di sosial media, obrolan santai antar kubikel, bahkan sampai momen kangen-kangenan virtual, obrolan tentang investasi saham menjadi topik ringan yang menular.
“Tertarik ke pasar modal karena obrolan teman, mereka memikirkan masa tua, tetapi sekaligus curhat tidak punya bakat mengendalikan bisnis. Hanya pekerja biasa, yang butuh jaminan hari tua. Ini yang membuat saya tertarik pada saham,” kata Beny Asyhar, seorang pelajar, sekaligus pemula di dunia saham.
Menegakkan Pilar Saat Masa Sulit
Katanya sedang resesi, pandemi adalah masa sulit yang belum terurai. Tetapi masa paceklik ini bukan kiamat di pasar saham. Buktinya terlihat pada data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).
Penulis : Dyah Megasari