Kompas TV nasional kesehatan

Baik dan Buruk Obat Covid-19 Remdesivir di Mata Pakar Farmakologi UGM

Kompas.tv - 5 Oktober 2020, 23:23 WIB
baik-dan-buruk-obat-covid-19-remdesivir-di-mata-pakar-farmakologi-ugm
Pengembangan obat Covid-19 yang dilakukan Universitas Airlangga (Unair) bekerja sama dengan TNI AD dan Badan Intelijen Negara (BIN) menuai kritik. (Sumber: Pixabay)
Penulis : Dian Septina

JAKARTA, KOMPAS.TV - Remdesivir ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Obat antivirus ini telah mendapat izin edar dari BPOM untuk digunakan sebagai salah satu obat yang diberikan kepada pasien Covid-19. Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinis UGM Zullies Ikawati membagikan pemahamannya mengenai remdesivir.

Obat ini tidak bisa didapat secara bebas di pasaran dan hanya diberikan izin edar dalam bentuk Emergency Use Authorization (EUA).

Artinya, izin penggunaan obat diberikan secara darurat karena belum  ada obat Covid-19 yang definitif dan disetujui. 

“Jadi, bukan keadaan darurat karena pasien dalam kondisi darurat ya,” ujarnya, Senin (5/10/2020).

Obat ini juga langsung didistribusikan ke rumah sakit dan tidak tersedia di apotek. Remdesivir dipakai dalam uji coba yang dilakukan oleh WHO dalam beberapa bulan terakhir. Sejumlah negara juga menggunakan obat tersebut.

Hasilnya, menunjukkan efektivitas yang baik saat digunakan dalam pengobatan pasien Covid-19. Remdesivir juga bisa mempersingkat masa penyembuhan pasien Covid-19. Obat ini juga pernah dipakai saat wabah Ebola dan MERS.

Meskipun demikian, Zullies mengatakan remdesivir hanya boleh digunakan untuk pasien terkonfirmasi positif Covid-19 dengan usia diatas 12 tahun dan berat badan minimal 40 kilogram.

Untuk pemberian obat dilakukan melalui injeksi dengan infus, dengan dosis pada hari pertama sebanyak 200 miligram, lalu pada hari kedua dan selanjutnya sebanyak 100 miligram per hari. Pemberian obat ini dilakukan lima sampai 10 hari.

Ia tidak menampik, remdesivir juga memiliki sejumlah efek samping, seperti mual dan muntah. Remdesivir juga bisa meningkatkan enzim transaminase di liver yang berpotensi merusak liver.

Oleh sebab itu, penggunaan obat ini harus diberikan secara hati-hati pada pasien yang terindikasi memiliki gangguan fungsi hati.

Demikian pula keamanan penggunaan remdesivir bagi wanita hamil dan menyusui belum diketahui. Namun, pada uji pra klinik pada tikus dan kera diketahui penggunaan remdesivir bisa mempengaruhi ginjal pada janin. 

Menurut Zullies, remdesivir memiliki keunikan prodrug. Artinya, obat akan mengalami perubahan menjadi zat aktif ketika sudah berada dalam tubuh pasien. Bentuk ini bisa meningkatkan masuknya obat ke dalam sel dan melindungi obat sampai di tempat kerjanya.

Modifikasi penting pada remdesivir adalah gugus karbon nitrogen (CN) yang melekat pada gula, sehingga saat remdesivir dimasukkan ke dalam rantai pertumbuhan RNA, keberadaan gugus CN akan menyebabkan bentuk gula mengerut yang menghentikan produksi untai RNA dan menyabotase replikasi virus.

Selain itu, adanya perubahan ikatan C-N menjadi C-C menyebabkan remdesivir tidak dapat dilepaskan oleh enzim targetnya yaitu RNA-dependent RNA Polymerase. Kondisi tersebut menjadikannya tetap berada dalam rantai RNA yang tumbuh dan memblokir replikasi virus.

“Obat ini bekerja dengan menghambat replikasi virus dalam tubuh karena remdesivir adalah senyawa analog atau mirip dengan adenosine dan bisa menyusup ke dalam rantai RNA,” ucap Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini.

(Switzy Sabandar) 



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x