Kompas TV nasional politik

Rizal Ramli dan Refly Harun Gugat Presidential Threshold ke Mahkamah Konstitusi

Kompas.tv - 4 September 2020, 19:21 WIB
rizal-ramli-dan-refly-harun-gugat-presidential-threshold-ke-mahkamah-konstitusi
Rizal Ramli mengajukan gugatan Presidential Threshold yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. (Sumber: Tribunnews.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Rizal Ramli bersama kuasa hukumnya, Refly Harun, mengajukan gugatan Presidential Threshold yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Gugatan tersebut diajukan Rizal Ramli ke Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (4/9/2020), dikutip dari Tribunnews.

Ekonom Senior Rizal Ramli bersama Refly Harun tiba di Gedung Mahkamah Konstitusi sekitar pukul 13.43 WIB. Rizal Ramli menyerahkan langsung dokumen gugatan kepada bagian penerimaan Perkara Konstitusi.

Baca Juga: Rizal Ramli Kembali Kirim Undangan Debat Ke Luhut Binsar Panjaitan

Usai mendaftarkan gugatan, Rizal mengatakan, pengajuan gugatan ini dilatari perlu adanya perubahan yang menjunjung nilai demokrasi yang sesungguhnya, yakni mengenai ambang batas pencalonan presiden.

"Awalnya bagus (demokrasi,red), tapi makin ke sini makin dibikin banyak aturan yang mengubah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal," kata Rizal Ramli di Gedung Mahkamah Konstitusi, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (4/9/2020), dikutip dari Tribunnews.

Rizal dengan ambang batas 20 persen itu, membuat seseorang yang ingin mencalonkan diri harus menyiapkan mahar politik untuk mendapatkan dukungan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi partai politik di DPR, atau disetarakan dengan 25 persen perolehan kursi parlemen.

"Bahasa sederhananya, kalau mau jadi bupati mesti nyewa partai. Sewa partai itu antara Rp30 sampai Rp50 miliar. Ada yang mau jadi gubernur harus nyewa partai dari Rp100 miliar sampai Rp300 miliar. Presiden tarifnya lebih gila lagi," ucap Rizal.

Rizal mengaku pernah ditawari sejumlah partai politik untuk menjadi calon presiden untuk Pemilu Presiden 2009 silam. Namun dia diminta untuk menyiapkan mahar politik hingga Rp1 triliun.

"Satu partai mintanya Rp300 miliar. Tiga partai itu Rp900 miliar. Nyaris satu Triliun. Itu 2009, 2020 lebih tinggi lagi. Jadi yang terjadi demokrasi kriminal ini yang merusak Indonesia," tutup Rizal.

Baca Juga: Tujuan Presidential Threshold - ROSI

Revisi UU Pemilu
Beberapa bulan lalu dikabarkan Komisi II DPR RI sedang menyusun Revisi UU Pemilu. Satu di antara isu yang berkembang adalah merevisi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Berkaca pada Pemilihan Presiden 2019 lalu, ambang batas presiden 20 persen dinilai berbagai kalangan membatasi dan menghalangi seseorang berkontestasi dalam pemilihan presiden.

Sebab pada saat itu, hanya menghasilkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Oleh karena itu angkanya tidak boleh kecil dan juga tidak boleh besar artinya pertengahan sehingga semuanya bisa masuk," kata anggota DPR RI Fraksi PKS Nasir Djamil dalam webinar Voice For Change bertajuk 'Presidential Threshold Nol Persen di Mata Partai Politik' yang dimoderatori Aktivis ‘98 Niko Adrian, Jumat (17/7/2020), dikutip dari Tribunnews.

Anggota Komisi III DPR RI itu menekankan bahwa Pemilu harus digelar secara aspiratif dan demokrasi. Perwujudan itu bisa ditunjukkan dengan kebijaksanaan dalam menentukan ambang batas pencalonan presiden.

Nasir mengingatkan angka ambang batas pencalonan presiden yang tinggi hanya menguntungkan partai politik besar.

"Jadi kalau kemudian ambang batasnya terlalu besar itu tidak kompetitif, hanya partai-partai tertentu kemudian yang bisa melaju," imbuhnya.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x