> >

Covid-19, "Xenophobia," dan Rasisme

Opini | 30 April 2020, 12:47 WIB
Bunga Lily (Sumber: Pixabay)

Oleh Trias Kuncahyono

Ada tulisan menarik di The Lily, pada edisi 21 April 2020. The Lily adalah publikasi terbaru The Washington Post, dalam Media Facebook, Instagram, dan Twitter, serta newsletter dua mingguan. Tulisan itu berjudul I’m an Asian American doctor on the front lines of two wars: Coronavirus and racism, Saya seorang dokter Amerika keturunan Asia di garis depan dua perang: Coronavirus dan rasisme. 

Tulisan itu menceritakan pengalaman seorang perempuan dokter, Sojung Yi yang bekerja di ruang emergensi University of California, San Francisco, AS, untuk menangani pasien korban Covid-19. 

Sojung menceritakan, ketika pandemi Covid-19 makin merajalela di AS, dan korban-korbannya membanjiri rumah-rumah sakit, gelombang sentimen xenophobia dan rasis menyertainya. Pasien, selalu bertanya, “Dari mana asal Anda,” begitu melihat wajahnya yang ada garis Asia.

Bahkan, sebelum Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi, orang-orang keturunan Asia, terutama China, di AS sudah diperlakukan kurang manusia: diludahi, dilecehkan, bahkan diserang secara fisik. 

Apalagi, Presiden AS, Donald Trump dalam sebuah jumpa pers bulan Maret lalu tidak mau menggunakan istilah resmi dalam dunia kesehatan yakni Covid-19 atau Virus Corona, melainkan lebih memilih menggunakan istilah “Virus China.”

"Xenophobia” dan Rasisme

Sejarah selalu berulang. Ketika wabah Black Death, menyerang Eropa pada abad ke-14, yang menewaskan tak kurang dari 25 juta orang, orang-orang Yahudi dituding sebagai penyebabnya. Ini adalah ledakan  kebencian terhadap orang Yahudi yang sudah muncul di masa sebelumnya. Maka anti-semitisme makin menjadi-jadi. Padahal penyakit  ini berasal dari Asia Tengah dan China.

Ketika pecah epidemi kolera pada tahun 1832, yang menewaskan ratusan ribu orang di Eropa dan Amerika Utara, para  imigran Irlandia-lah yang dituding sebagai penyebarnya. Akibatnya, muncul gelombang anti-imigran. Kolera merajalela di perkampungan-perkampungan miskin yang penduduknya dihuni kaum imigran.

Cerita yang hampir sama terjadi ketika wabah virus Ebola terjadi. Karena pertama kali menyerang Nzara, Sudan Selatan dan Yambuku, Republik Demokratik Kongo pada tahun 1976, maka menimbulkan xenophobia dan rasisme terhadap orang-orang dari Afrika. Apalagi merajalela lagi  antara 2014-2016 di Afrika Barat, dimulai dari Guinea lalu ke Sierra Leone dan  Liberia, makin kuatlah sentiment anti-Afrika itu (Forbes, Feb 28, 2020).

Mengapa ini terjadi? Berdasarkan sebuah studi 2019, yang kemudian diterbitkan oleh jurnal Social Psychological and Personality Science, paparan penyakit menular dapat meningkatkan ketegangan rasial. Bila di suatu kawasan merebak wabah yang mudah menular, maka orang akan cenderung berpihak kepada komunitas yang sama—entah itu warna kulit, ras, etnis, bahkan agama—dan menolak orang atau komunitas yang berbeda.  

Penulis : Tito-Dirhantoro

Sumber : Kompas TV


TERBARU